
Nah, lantas bagaimana kita harus mendeskirpsikan sosok Derrida, ketika dia sendiri menolak untuk mendeskripsikan kisah hidupnya? Dalam sebuah buku berjudul “Derrida” yang ditulis oleh Muhammad Al-Fayyadl, sosok Derrida dideskripsikan sebagai sebuah problema.
Tentu saja kita tidak akan pernah memahami Derrida secara utuh. Baginya, pemahaman yang berusaha menguasai segala bentuk keunikan menjadi sebuah deskripsi totalitas adalah salah. Sebagaimana teori dekonstruksi yang memungkinkan bahasa teks diberi keberagaman makna oleh tiap-tiap pembaca.
Dalam bukunya, Al-Fayyadl memberi begitu banyak penjelasan agar tidak tercapainya “sekedar pemaknaan” terhadap pemikiran Derrida. Baik itu kisah hidupnya, pemikiran, serta hubungan teori pos-strukturalisme Derrida dengan berbagai teori lain yang mempengaruhinya. Untuk mendapatkan bukunya kamu dapat klik disini.
Dalam artikel kali ini saya hanya ingin membahas beberapa poin penting dari perjalanan hidup Derrida. Saya sendiri belum menyelesaikan pembacaan buku tersebut karena kesibukan hehehe.. Paling tidak informasi ini dapat berguna buat kamu yang ingin sedikit mengenal Derrida. Langsung saja begini ceritanya..
Posisi Derrida
Sebelum Derrida, kalangan penganut Strukturalisme percaya bahwa kesadaran manusia terwujud dalam bahasa yang diungkapkan secara lisan. Kemampuan berbahasa menunjukkan bahwa manusia secara sadar menampakkan dirinya. Namun, kehadiran manusia kemudian dipinggirkan melalui tulisan, untuk itulah sosok “penulis” atau “manusia” harus menjaga konteks makna dalam sebuah tulisan. Tujuannya agar ia tetap hadir dalam bahasa tulisan sebagai pengganti kesadaran dalam bahasa lisan.
Derrida kemudian datang untuk mengganti presepsi-presepsi dasar tersebut, bahwa sebuah tulisan harus hadir dengan sosok penulis sebagai pusat. Menurutnya, sebuah teks (tulisan) tidak harus mengedepankan sosok penulis. Ia mengajukan sebuah gagasan tentang “emansipasi teks” atau “kemerdekaan teks” yang bisa dimaknai tanpa menghadirkan penulis―meskipun “teks” bagi Derrida dapat berarti banyak hal.
Pendapat yang dikemukakan Derrida itu kemudian dimasukkan dalam sebuah kelompok yang diistilahkan “pos-strukturalisme.” Sampai saat ini belum ada definisi pasti tentang pos-strukturalisme, yang jelas mereka banyak menggugat pemikiran-pemikiran modern. Serupa dengan pemikiran yang hadir setelahnya melalui kelompok “pos-modernisme.”
Kaitan antara pemikiran Derrida dengan pemikiran pos-modernisme tentu saja sangat erat, karena pos-modernisme lahir ketika pos-strukturalisme telah mencapai kematangannya.
Dalam menyusun pemikirannya, Derrida banyak mengkritik teks-teks filsafat modern, strukturalisme, yang menurutnya selalu berfokus pada kehadiran subjek. Ia mengkritik bahwa kasus-kasus filsafat barat tidak pernah lepas dari apa yang disebutnya sebagai “logosentrisme.” Derrida kemudian menamakan prosesnya sebagai Dekonstruksi.
Kisah Hidup
Derrida terlahir di El-Biar, salah satu wilayah Al-Jazair pada 15 Juli 1930. Seorang saksi hidup beragam peristiwa di negara poskolonial. Terlebih, Al-Jazair saat itu tengah dilanda perang. Derrida menjadi saksi bagaimana kekuatan kolonial mencengkram tanah-tanah jajahan di Dunia Ketiga.
Pada tahun 1949 Derrida pindah ke Perancis. Ia melanjutkan pendidikannya di salah satu negara ternama di Eropa tersebut.
Tepatnya pada 1952 Derrida resmi belajar di salah satu sekolah tinggi di Prancis yang bernama Ecole Normal Speriuere (ENS.) Salah satu sekolah elit yang dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf garda depan Perancis.
Baru pada 1957 ia kembali ke Al-Jazair untuk menempuh wajib militer selama dua tahun. Setelah itu, Derrida memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Husserl Archive, salah satu pusat kajian fenomenologi yang berada di Louvain, Perancis.
Pada 1960, Derrida dipanggil untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Empat tahun setelahnya, atau tahun 1964-1984, Derrida kembali ke sekolah tinggi pertamanya, ENS, dan mengajar disana.
Sebuah ceramah legendaris yang disampaikan Derrida di Universitas John Hopkins pada tahun 1966 membuat kehidupan intelektualnya semakin sibuk. Ceramah tersebut bertajuk “Structure, sign, play, in he Discourse of the Human Science”
Semenjak itu, Derrida berkali-kali diundang ke berbagai universitas untuk menjadi pembicara. Terutama setiap tahun, Derrida secara reguler menjadi Profesor tamu di sejumlah universitas terkemuka di Amerika.
Pada 1980 Derrida mempertahankan tesis doktoralnya yang berjudul “The Time of a Thesis: Punctuations” Enam tahun setelahnya, Derrida diangkat sebagai guru besar di Universitas California, Irvine. Universitas tersebut hingga kini memiliki koleksi lengkap tulisan-tulisan Derrida, terutama arsip-arsip yang belum dipublikasikan.
Beberapa gelar doktor kehormatan (sejak 1986) yang diterima oleh Derrida berasal dari: Universitas Cambridge, Universitas Columbia, the New School of Social Research, Universitas Essex, Universitas Louvain, dan William Collage.
Derrida juga diterima sebagai anggota honorer American Academy of Arts and Science.
Kemudian, sederetan prestasi tersebut disusul dengan sebuah penghargaan prestisius di Jerman yaitu Anugerah Adorno (Adorno Preis) pada tahun 2001.
Pada tahun 2003, Derrida di diagnosa menderita kanker hati. Hingga akhirnya pada sabtu dini hari, 9 Oktober 2004 Derrida menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal dengan tenang di Paris setelah dua tahun melawan kanker pankreas. Derrida secara terus terang mengatakan berhutang budi pada pemikiran Heidegger, Nietzsche, Adorno, Levinas, Husserl, Freud dan Saussure.
Sumber
- Al-Fayyadl, M. (2005). DERRIDA. Yogyakarta: LKiS.
- Bartens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Share This :
comment 0 Komentar
more_vert